“ Pernah jatuh cinta? Pernah patah
hati dong?” frase yang tertulis pada sebuah cover Antologi Write True Story: When I broke up. Patah hati bukan akhir dari
segalanya. Masih banyak hal laing yang lebih berarti ketimbang bunuh diri.
Setragis apapun ksah cinta, tetap masih banyak yang menyikapinya dengan
positif, bahkan mampu bangkit dengan visioner yang lebih baik. Dan...tentu saja
ini bukan tentang review buku tersebut dan
Bismillahirrahmaanirrahiim sedikit informasi yang ingin saya share [
tepatnya promosi! ] tentang
Antologi ini karena di dalamnya ada satu tulisan saya dengan judul My Re-engineering When I broke Up yaitu:
Judul : When I Broke Up
Penulis : Ririe Khayan, Jacob Julian, Langit Senja, Arinana, Antie Wijaya, dkk
Penerbit : LeutiKaprio
ISBN : ISBN: 978-602-225-409-6
Tebal : 232, BW : 232, Warna : 0
Cetakan I : Mei 2012
Harga : 47.000 [ Belum
Ongkir ]
Untuk informasi lebih detail bisa
langsung kunjungi LeutiKaprio
di sini.
Dan untuk [semoga] membuat penasaran berikut ini sebagian tulisan yang saya
buat, sengaja saya tampilakn secara tidak beraturan:
”…. kenapa harus berduka
berlarut-larut sedangkan si dia tentunya sudah berbahagia. Kenapa masih
menyelimuti hati dengan rasa sakit sementara si dia sudah menyulam tawa ceria?
Sepenting itukah orang yang sudah dengan sengaja mencampakkanmu sementara masih
kau genggam segala kenangannya seolah tak akan ada lagi yang lebih berharga…..”
Beberapa kalimat yang sesekali aku selipkan di antara obrolan kami, hingga
kemudian dia bisa bangkit lagi.
By the time, banyak hal dalam dirinya yang membuatku
bisa merasa comfort, secure, safe, dibutuhkan, diinginkan dan dihargai serta kami bisa klik dalam pola
pikir. Maka tak sulit buatku untuk mulai membuka hati menerima dirinya . Di
saat aku sudah sedemikian yakin untuk bisa bersamanya, di saat itulah dia
menyatakan mundur dengan alasan yang tak terjelaskan. Karena apapun alasannya,
bagiku itu hanyalah alasan yang menunjukkan jika dia tak seserius yang aku
perkirakan. Karena jika dia seserius sangkaanku, mestinya apapun halangan,
masalah, rintangan tak akan menjadikannya untuk mundur.
Manakala hubungan (asmara) berakhir, betapapun di
kemas dengan penuh nuansa romantis ataupun merupakan hasil kesepakatan bersama
untuk memilih jalan hidup sendiri-sendiri, tetap hal yang menyakitkan. Apalagi
yang tiba-tiba gone just like dust in
the wind?. Maka aku termasuk salah satu orang yang tetap merasakan
bagaimana jejak luka, gores kecewa, gurat sedih, feeling blue menghantam telak
relung hati dan mengubah suasana hari-hari jadi berselimut kabut.
Rasa kecewa, sakit dan ‘merasa’ dipermainkan, campur
jadi jadi satu dalam hatiku. Aku merasa jadi orang yang bodoh sedunia karena
percaya dia seserius dan gentle yang aku kira.... “ dia berhasil membuatmu patah hati deh”, demikian ucap sahabat karibku.
“ Mau sampai kapan kamu berkabung seperti itu ?”. Berkabung mungkin istilah
yang berlebihan, tapi kenyataannya aku memang merasa terjatuh dari tebing yang
sangat tinggi, sakiiit rasanya. Makanku jadi kacau dan hampir tiap hari aku
menangis, menangisi akan sikap dia juga atas kenyataan bahwa aku sudah
menyukainya sehingga merasa kehilangan sedemikian rupa.
Waktu adalah obat yang mujarab untuk menyembuhkan hati
yang terluka, selebihnya adalah keinginan kita untuk bangkit dari keterpurukan.
Setelah beberapa hari bermuram durja, menangisi kegagalan ta’arufku, aku paham
satu hal ‘Kecewa
dan sedih HANYA sebagian awal dari kegagalan karena selebihnya adalah
pendewasaan diri dan tempaan hati‘ Benar pula, menasehati orang lain memang lebih mudah daripada menerapkannya
sendiri. Aku belajar
untuk menghadapi, merasakan, dan menerima rasa sakit tersebut, karena menghindarinya akan membutuhan jauh lebih
banyak energy. Menangis memang bisa melepaskan sesak di dada namun tak akan
bisa membuatnya kembali seberapapun banyak airmataku yang keluar. Karena itu
aku di setiap menangis sekaligus aku mengatakan pada diri sendiri bahwa aku tak
boleh larut dalam rasa kehilangan, patah hati atau apapun istilahnya.
Tak ada
gunanya bertahan dalam kemarahan, kecewa, sakit hati atau penyesalan. Aku sudah berani mengambil resiko untuk jatuh cinta, maka saat mengalami kegagalan
aku pun menempuh jalur re-engineering dalam cara berpikir dan sikap untuk mendapatkan kehidupanku
kembali.....[the completely story available on the Antologi
true story: When I
Broke Up]
Buku yang
berisi 30 karya penulis Pemenang event “
When I broke Up” LeutiKario ini menunjukkan pembuktian bahwa patah hati BUKAN
alasan untuk menenggelamkan diri dalam jurang kegalauan atau mematahkan asa
kehidupan. Setidaknya 30 kisah dalam Antologi ini menjadi pembuktian bahwa sesungguhnya
setiap orang bisa bangkit dari keterpurukannya, tak hanya soal waktu will help to heal tapi yang terpenting
adalah KEMAUAN untuk segera bangkit, move
on and Life must go on, guys!
waaaaah,,,
ReplyDeleteternyata blog seorang penulis....
salam kenal dari kediri mbak.....