Masih Relevankah Guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa?

Prolog: Tulisan ini refleksi dari beberapa percakapan singkat dan sederhana dengan teman dan beberapa orang yang saya temui. Karena beberapa sehingga secara sample populasi belum merepresentasikan secara makro kondisi yang sebenarnya dan saya sejatinya justru lebih berharap wacana yang saya temui berikut ini semoga hanya beberapa saja. Tanpa ada maksud menyindir dan semoga tidak ada yang tersinggung, dan Bismillahirrahmaanirrahiim semoga bisa jadi wacana yang obyektif buat kita semua.

Pada suatu kesempatan, ketika saya ngobrol dengan teman yang anaknya masih kelas 2 SD, saat itu menjelang pulang kerja. 
“ Aku duluan ya, mau nganterin anakku les neh...”
“ Les Nyanyi itu ya? Apa Bahasa Inggris?” karena teman saya pernah cerita jika anaknya suka dengan menyanyi.
“ Kalau Les Bahasa Inggris sih mendingan, lha ini les pelajaran sekolahnya kok?”
Saya tertegun, dulu saya baru ikut les ya saat mendekati ujian kelulusan dan itu pun inisiatif dari Guru kelas/pelajaran yang bersangkutan dalam rangka pendalaman materi agar bisa menghadapi ujian dengan lebih maksimal. Les juga diadakan secara gratis sebagai bentuk tanggung jawab moral guru terhadap pelajaran yang diajarkannya yang dianggap memiliki tingkat kesulitan tertentu seperti Matematika, Bahasa Inggris, Fisika, Kimia.
“ Lha apa sebanyak itu kurikulumnya, sehingga jam mengajarnya tidak mencukupi ya..?” tanya saya masih heran.
“ Kayaknya performance dan dedikasi gurunya yang tidak kayak guru jaman sekolahku dulu deh....” pungkasnya sambil berlalu dengan sepeda motornya.

Senada dengan pernyataan tersebut, suatu hari saat saya berbincang dengan seorang saudara yang anaknya sudah duduk di bangku SMA. Dia bertanya bimbel apa yang credible untuk diikuti anaknya dalam persiapan menghadapi UNAS dan Ujian masuk Perguruan tinggi nantinya. Sebuah kalimat satire dan mengena banget “Anehnya dunia pendidikan sekarang, sekolah 3 tahun tidak menjamin bisa capable menghadapi ujian masuk PTN, kalah dengan bimbel yang hanya 3 bulan ya..” dan saya bingung mesti berkomentar apa?
Karena kenyataan yang banyak saya lihat memang demikian. Maraknya bimbel dan pengakuan para siswa yang merasa baru ‘punya bekal’ yang siap tempur menghadapi ujian masuk Perguruan tinggi ya karena mengikuti bimbel intensif. Saya yakin masih ada yang tanpa bimbel [selain jalur undangan/PMDK] yang bisa lulus tes masuk PTN tapi kalau dibuat prosentasinya sangat kecil. Maka statement : sekolah 3 tahun tidak menjamin bisa capable menghadapi ujian masuk PTN, dan kalah dengan bimbel yang hanya 3 bulan ya.. sangat mungkin mendekati kebenarannya kan?

Dan ini opini lain yang dicelotehkan seorang teman juga [kebetulan orang tuanya berprofesi sebagai guru SD dulunya]  saat musim ujian sertifikasi beberapa waktu lalu.
“Kenapa ketika guru menghadapi ujian sertifikasi dan semacamnya ada yang berasumsi untuk menghambat dan ada yang minta dispensasi ini dan itu? Lha bukannya murid-muridnya saja harus siap untuk menghadapi ujian tiap kenaikan kelas? Jadi seyogyanya sang Guru harus lebih siap untuk menghadapi proses evaluasi terhadap kemampuan dirinya kan? Guru kan minimal harus satu step lebih tahu dulu dari muridnya? Jadi, harusnya dengan jiwa sportif dunk menghadapi ujian dan eveluasinya? Masak sosok seorang guru yang punya jobdes menyiapkan kader bangsa kok ciut nyalinya ketika di hadapkan pada ujian untuk dirinya ?”

Dan sekelumit diskusi kecil bernada pertanyaan sekaligus statement yang jadi topik menarik bagi kami yang memang tidak berprofesi sebagai guru saat gathering mini reuni dengan teman-teman kuliah, tapi diantara kami ada yang punya kerabat [bahkan pasangannya] berprofesi sebagai guru: SD, SMP dan SMA. Perbincangan pun berlanjut tentang gelar prestisius yang selama ini identik dengan guru yaitu Pahlawan tanpa tanda jasa.
“ Guru itu sebenarnya salah satu jenis profesi yang dilakukan secara profesional kan?”
“ Menurutku sih demikian, dulu bisa jadi porsi pengabdian guru lebih besar maka secara naturally muncullah penyematan gelar : Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.”
“ He-eh, lha sekarang kalau tunjangan atau gajinya telat sebentar saja sudah langsung demo kan? Sampai-sampai muridnya ditelantarkan tuh..”
“ Sekarang sudah ada standar gaji untuk guru kok. Ada beragam Award dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan juga terbuka lebar...sangat didukung dan mendapat fasilitas untuk itu”
“ Kecuali untuk yang mengambil peran tersebut sebagai pengabdian, volunteer dimana mereka benar-benar mengadikan diri dan kemampuannya demi berbagi ilmu. Tak ada lagi keluh kesah tentang imbal jasa, itung-itungan jam kerja dan gaji...”
“ Lha sekarang, sudah ada buku wajib saja..masih saja ada alasan untuk mengadakan buku-buku pendukung yang diwajibkan untuk muruidnya juga tuh”
“ Buku pendukung yang secara implisit ‘wajib’ untuk dimiliki oleh para muridnya...WOW!”
" Belum lagi iuran-iuran yang kesannya mengada-ada, seperti iuran pengadaan bangku sekolah? Beli AC?.."
" Ya kali saja sekolahnya memang kurang bangku tho? Butuh AC karena gerah..."
" Halloo...ada si BOS gettu deh.."
" Kalau sekolahnya partekelir sih masuk akal ya, tapi plat merah, hemmm...no comment ahh"
“ Tapi gak semua guru itu sudah sejahtera lho?” celetuk teman lainnya
“ Kalau mau bahas sejahtera atau tidak, jenis profesi lainnya juga demikian tho? Minimal guru itu jam kerjanya gak full day, bahkan untuk SMP/SMA juga gak full week. Jadi masih ada peluang untuk berkarya di luar jam mengajarnya, iya kan...?”


Dan kalau perbincangan tersebut kami dilanjutkan, rasanya gak akan ada habisnya. Yang jelas ada kesamaan harap dari kami semoga hal-hal yang kami temui tersebut hanya beberapa kejadian saja. Kami sangat berharap itu bukan dilema makro atau nasional.  Karena ketika “kasus beberapa” tersebut di determinasikan dalam semesta pembicaraan yang lebih luas dan ternyata hal tersebut juga merupakan fenomena yang terjadi pada ‘beberapa daerah’ lainnya....maka akan jadi paradigma yang menyedihkan bagi dunia pendidikan di negeri ini.

Saya sendiri bukan ahli pendidikan tapi ikut berharap dengan asa minimal agar pendidikan di negeri ini bisa menjadikan anak didiknya menjadi generasi yang punya kepekaan dan kreatifitas serta mampu bersinergis dalam berkarya produktif bersama anggota masyarakat lainnya. Karena selain peran pendidikan dari rumah, maka sekolah sebagai institusi resmi yang mengemban tugas pendidikan formal untuk generasi bangsa ini juga memegang peran yang sangat significant. Dan institusi tersebut akan bisa menjalankan fungsinya dengan baik manakala semua elemennyanya [guru] menempati peran dan fungsinya secara profesional dan bertanggung jawab terhadap pilihannya untuk berprofesi sebagai tenaga pendidik. 



3 comments:

  1. guru tak hanya sekedar mengajar pelajaran dsekolah, guru juga harus mendidik akhlaq & moral murid'y agar mudir'y menjadi pribadi yg mulia kelak.. jika guru bisa seperti itu, barulah pantas dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa :)

    ReplyDelete
  2. menurut saya sih masih relevan mbak, bagaimanapun jasa seorang guru sangatlah besar bagi murid-muridnya, tak bisa dibayangkan andai tak ada guru

    ReplyDelete
  3. Pranan seorang guru memang sangat penting,, dan kewajiban seorang guru bukan hanya sekedar mengajarkan ilmu pengetahuan, namun juga harus bisa mengajarkan kepribadian yang baik dan harus bisa menjadikan anak didiknya menjadi seorang yang berguna di masa depan... kalo guru bisa membuat anak didiknya seperti itu.. baru saya katakan pantas.

    ReplyDelete

Berkomentar ataupun silent reader, tetap terima kasih telah singgah di Serat Pelangi. Tapi harap maklum jika komentar bersifat SPAM atau mengandung link hidup tidak akan dipublish ya...So, be wise and friendly.